Latest News

Berawal Dari Kejujuran dan Kesabaran

, Posted by Mr. Jabat at 02.06


Berawal Dari Kejujuran dan Kesabaran


Cairo memasuki musim semi. Pagi yang indah. Langit yang serah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Mahmud. Ia melangkah memasuki gerbang Universitas Al Azhar dengan semangat membuncah. Fakultas Dakwah di Nasar City demikian ia cintai. Ia bayangkan hari yang indah penuh berkah. Mata kuliah Sirah Nabwiyyah, Fiqih Dakwah, Fiqh Al Muqaranah, Qiraah Sab’ah, Syaikh Fahmi Abdullah, Syaikh Yahya Ash Shabrawi, Prof. Dr. Abdul Aziz Abdih, teman-teman yang semangat, seirama dan se-ghirah. Mencintai rasulullah seutuhnya, tekad membaktikan diri sepenuhnya pada agama Allah. Semuanya menjadi cahaya dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya. ”sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad saw. Telah di kenal sebagai orang yang paling menjaga amanah di saentero kota Makkah. Sehingga beliau di beri gelar Al Amin. Orang yang sangat bisa di percaya. Orang yang bisa menjaga amanah. Sifat inilah yan semestinya dimiliki setiap muslim.” ”Menjaga amanah adalah ruh agama ini. Umur yang diberikan  Allah kepada kita adalah amanah. Hidup kita adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran mulia agama ini. Rasulullah bersabda, Laa diina liman laa amanita lahu. Tidak beragama  orang yang tidak menjaga amanah!...


            Hari ini ia mendapatkan  penjelasan yang dalam tentang amanah, satu dari empat sifat utama Rasulullah. Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh, guru besar ilmu dakwah menguraikan dengan bahasa yang menghidupkan jiwa. Kampus tertua di dunia ini tiada henti menempa generasi.
            Pukul dua siang ia pulang. Naik bis menuju Ramsis, ia menyewa sepetak kamar di sebuah rumah tua di kawasan Ramsis. Kamar yang pernah disewakan sepupunya yang kini telah menikah dan punya rumah didaerah Katamea. Tuan rumahnya sangat baik. Tak pernah menagih uang sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada diri sendiri dan tentu malu pada tuan rumah. Pernah ia tidak bisa bayar sewa rumah enam bulan. Dan pemilik rumah tidak jua menagih. Kali ini, sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus berputar  dari mana ia akan dapat uang. Meminta orang tua yang sudah renta sudah sangat tidak mungkin. Ia hanya selalu yakin bisa membayar. Allah maha kay. Sudah tiga puluh lamaran ia kirimkan ketempat-tempat yang teriklankan di koran Ahram membuka lowongan. Namun tidak satupun panggilan ia dapatkan, apalagi pekrjaan. Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berjualan buku-buku, majalah dan kaset-kaset islami di depan masjid Ramsis. Ia tidak bisa menggelar dagangannya setiap waktu. Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikata ia punya kesempata serius menjajakan dagangannya hanya pada hari jum’at. Ketika kuliah libur. Keuntungannya menjual buku tidak seberapa.
            Ketika bis sampai Ramsis ia turun. Seperti biasa ia melangkahkan kakinya menuju masjid El Fath. Ia ingin melepas penat, sambil menunggu Ashar tiba. Ia masuk masjid. Terasa teduh. Masjid-masjid di Cairo selalu meneduhkan. Ia pilih sebuah tiang. Duduk, dan menyandarkan punggungnya, ke tiang. Tas hitamnya ia lepas. Ia letakan disamping kanan. Kedua kakinya di selonjorkan. Perlahan matanya memejam, namun pikirannya tetap melayang –layang. Dari mana ia akan dapatkan uang. Dari mana ia akan bayar sewa kontrakan. Ya Allah, mohon beri aku jalan.
            Azan Ashar berkumandang. Ia bangkit. Harus segera turun sebelum orang mulai banyak. Ia harus buang air kecil dan ambil wudlu. Ia turun menuju kamar kecil. Benar. Orang mulai banyak. Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu yang terbuka. Kosong. Ia masuk. Ia tutp pintunya. Di pintu ia temukan tas hitam kumul bergantung.
            ”Ada yang lupa membawa barangnya.” gumamnya. Dimana-mana, di muka bumim ini, barang tertinggal di kamar kecil sudah jamak dan biasa. Di kamar kecil mesjid  anmur Abbasea ia pernah menemukan kaca mata tertinggal. Di kamar kecil masjid Sayyeda Zaenab ia pernah menemukan bungkusan plastik hitam. Ternyata isinya dua kilo ikan tuna. Dan pemiliknya ternyata seornag maha siswa dari Indonesia yang baru saja belanja di pasar Sayyeda zaenab. Entah kenapa ia sering menemukan barang-barang yang tertinggal di kamar kecil. Ia ambil kertas itu, lalu keluar dan brteriak ke arah orang-orang yang berwudhu, selang berapa lamatak ada yang menjawab. Sekali lagi ia berteriak, pun tak ada yang mengetahuinya, ia langsung bergegas ketempat pengurus masjid. Menyerahkan tas itu dan ihwal penemuannya. Pengurus masjid yang berjenggot tebal itu tersenyum kemudian menanyakan namanya, ”Mahmud Ali El Kayis” jawabnya.
Usai sholat, pengurus masjid El Fath mengumumkan perihal ditemukannya tas hitam. Jika ada yang merasa memilikinya harap menemui imam masjid. Ia lega mendengar pengumuman itu. Berharap apa yang dilakukannya berpahala. Apapun isi tas itu, pasti yang punya pastiu akan bahagia mendapatkannya kembali.
Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat dan seperti biasa mampir di Masjid Ramis untuk Sholat Ashar. Usai sholat, pengurus mesjid mengumumkan bahwa kemarin ada tas hitam tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh menghubungi imam. Ia mafhum bahwa pemiliknya belum mengambilnya. Namun ia sangat lega, dengan mendengar pengumuman itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-ornag mesjid sangat bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan keamanahannya. Usai shalat,ia bergegas kekontrakannya. Ia ingin menggelar dagangan bukunya. Ba’da maghrib Maghrib ada pengajian Syaikh Sya’rawi. Biasanya jama’ahnya membeludak. Semoga diantara mereka ada yang berminat membeli buku dagangannya, terutama yang ditulis oleh Syaikh Sya’rawi yang dikenal sangat merkyat dan dalam ilmunya. Begitu sampai kontrakan,ia langsung mandi cepat sekali, ganti pakaian, pakai minyak wangi pemberian Rahmi, teman karibnya satu kampus yang suka jual minyak. Dua kardus besar ia letakkan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik ia selipkan antara tikar dan kepalanya. Terasa sangat berat, tapi inilah hidup, inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan saja. Ia turuni tangga, sebab kamarnya ada dilantai tiga. Lau berjalan melewati lorong-lorong sempit, menyusuri trotoar, melewati deretan gedung perkantoran. Sampai didepan bank Ahli ia turunkan kardusnya. Ia kelelahan. Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menybrang jalan , sebuah sedan merah melaju kencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Iakemudian sampai di tujuannya. Trotoar didepan masjid El Fath Ramsis. Ia turunkan pelan-pelan dua kardusnya, gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku danggannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalahnya. Buku-buku Syaikh Sya’rawi ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. Sehingga tampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya. Senja mulai pekat, langit memerah disebelah barat. Lampu-lampu kota mulai menyala. Orang-ornag mulai deras berdatangan. Hatinya riang, sudah delapan buku ynag terjual. Semuanya buku Syaikh Sya’rawi. Keuntungan masing-masing buku tiga pound. Ia tersenyum sambil berkata, ”Alhamdulillah Ya Rabb.” Pujian pada tuhannya yang memberikan rejeki. Ia lalu berharap jika Syaikh Sya’rawi tiap hari memberi ceramah  di masjid Ramsis tempatnya menggelar dagangan. Jika tiap hari ia bisa untung duapuluh lima pound saja, maka dalam satu bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima puluhan pound. Dan itu sangat cukup untuk membayar sewa kamar, makan, ongkos bis, dan bukku.  Bahkan ia bisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia tiba-tiba  berfikir menikah.
”Ya Kapten, lau samah, bikam Syarith dzai?”  Suara ornag perempua membuyarkan lamunanya. Ia mengarahkan matanya ke asal suara. Hatinya bergetar sesaaat. Diahadapannya seorang gadis berparas elok, berjilbab putih, berjongkok sambil memegang sebuah kaset. Ya, kaset ceramah Syaikh Sya’rawi berjudul : Al mar’ah Ash-Shalihah. Satu detik matanya beradu dengan mata gadis itu. Ia menangkap kecantikannya, matanya yang bundar dan bening. Muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya.
Ia segera menahan matanya, mengalihkannya ke kaset yang di pegang gadis itu.
”E.... sab’ah junaihat.”2
”Ghali awi!”3
”La ya anisah, hadza jaded.”4
”Arba’ah mumkin?”5 gadis itu menawar.
” Musy mumkin, afwan.”6
”Khamsah la azid.”7
”Masy.”8
Gadis itu mengambil kaset dan memasukannya ke dalam tas, lantas mengeluarkan lima pound. Ia mengambil uang itu seraya mengucapkan, ”Terimakasih, Nona.” setelah gadis itu berlalu ia raba hatinya. Masih ada getaran. Ia jadi berfikir, kenapa ia baru mengangankan nikah, tiba-tiba ada gadis di hadapannya. Gadis yang membuat hatinya bergetar. Apakah ini tanda-tanda.”Ah, Astaghfirullah, aku tidak mau terjebak setan!” cepat-cepat ia menolak fikirannya. Bukankah sudah tdak lterhitung gadis berjilbab yang membeli daganganya? Diantara mereka bahkan ada sesuatu yang lain? Saat maghrib tiba dimasjid telah penuh. Ia merasa tidak perlu masuk masjid. Cukup menggelar koran untuk ikut sahlat berjemaah disamping dengannya. Usai sholat Syaikh Sya’rawi memberikan ceramahnnya. Berkalai-kali tasbih dan kalimat tauhid terdengar gemuruh dari para pendengar. Ditengah-tengah asyiknya mendengarkan ceramah. Sambil sesekali melayani pembeli tiba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka ramah mendatanginya. Leleaki itu tak lain adalah salah satu pengurus masjid EL Fath.
”Apa kabarmu Nak? Laris?”
”Alhamdulillah, saya baik. Rejeki hari ini juga baik.”
”Syukur kalau begitu. E.., begini Nak....”
”Ya, Paman. Ada apa?”
”Ada ynag punya perlu denganmu. Jika kau tidak keberatan. Habis sholat isya’ datanglah kekantor pengurus masjid.”
“Perlu apa ya kira-kira, Paman?”
“InsyaAllah baik untukmu. Bisa?”
“InsyaAllah, Paman.”
            Syaikh Sya’rawi memberikan siraman penyejuk jiwa sampai isya’. Beliau juga mengimami shlot Isya. Acara ceramah beliau disiarkan langsung keseluruh penjuru Timur Tengah ole seuah stasiun televisi. Usai Sholat, mahmud sibuk dengan para pembeli bukunya. Semua buku tulisan Syaikh Sya’rawi ludes. Kaset ceramah beliau tersisa tiga. Buku-buku yang lain juga banyak dibeli. Ketika masjid mulai sepi, ia mengemasi dagangannya. “Ini sungguh Hari yang penuh keberuntungan.” Katanya pada diri sendiri. Separuh bukunya terjual. Ia menaksir keuntungan hari itu kira-kira seratus empat puluh pound. “Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk membayar sewa kamar 2 bulan.” Gumamnya pada diri sendiri.
            Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke masjid. Ia bawa barang dagangannya kemasjid. Ia letakkan diballik pintu masuk lalu menuju salah satu ruang yang digunakan sebagai kantor para pengurus. Disana ada beberapa orang yang berkumpul. ia mengetuk pintu dan memberi salam. Yang ada disitu serentajk menjawab salam. Sekilas ia kitarkan pandangannya. Tak ada Syaikh Sy’rawi. Mungkin telah diantar pulang. ”Nak Mahmud, silahkan duduk.” Lelaki berjenggot bermuka ramah mempersilahkan duduk. ”Terimakasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi yang masih kosong.
            ”Diakah pemuda itu?” Seorang laki-laki setengah baya berwajah bersih tiba-tiba berkata sambil memandang kearah mahmud. ”Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot bermuka ramah. Mahmud yang merasa dirinya jadi obyek pembicaraan spontan bertanya, ”Kalian membicarakan aku?”
”Iya Nak Mahnud. Seperti yang saya sampaikan bakda shalat maghrib tadi. Ada orang yang perlu denganmu. Ceritanya begini, bapak ini adalah Tuan Ragib Ali Ridhwan Hamid Ghazali. Beliaulah pemilik tas hitam yang kau temukan. Beliau ingin berterima kasih padamu.” Lelaki berjenggot bermuka ramah menjelaskan. ”Benar Nak Mahmud. Saya sangat berterimakasih padamu. Sebagai rasa terima kasih, saya ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin tidak seberapa tapi semoga menjadi anda syukur. Karena siapa yang tidak berterima kasih kepada Allah.” kata lelaki setengah baya berwajah bersih bernama Ragab itu. Mahmud belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun Tuan Ragab telah berdiri dan mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Mahmud menolaknya seraya berkata, ”Sebentar Tuan Ragab. Kemarin itu saya hanya menunaikan amanah karena Allah. Itu saja. Itu sudah menjadi  kewajiban saya sebagai seorang mulim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya menerima yang berlebih. Tidak perlu berterima kasih  atas sebuah kewajiban.
Bersyukurlah pada Allah.”
"Iya. Kau benar. Tapi tolong terimalah tanda terima kasih saya padamu Nak. Tenma kasih
saya atas amanah yang kautunaikan." Desak Tuan Ragab.
"Maaf, janganlah Tuan memaksa saya untuk menerima sesuatu sebagai imbalan kewajiban yang harus saya tunaikan. Tolong, saya hanya melakukan karena Allah. Tolong. Saya sampaikan empati saya atas sikap Tuan yang hendak berterima kasih pada saya. Saya terima ungkapan terima kasihnya. Tapi tidak untuk sesuatu yang hendak Bapak berikan pada saya. Sekali lagi jangan paksa saya!"
Tuan Ragab memandang kepada lelaki imam masjid yang hanya dengan diam saja sejak tadi. Sang imam mengisyaratkan dengan gelengan kepala dan telapak tangannya agar dia jangan memaksa.
"Baiklah aku tak bisa memaksa. Tapi apakah kau tabu isi tas hitam itu?" kata Tuan Ragab.
Mahmud menggelengkan kepala seraya berkata, "saya sama Sekali tidak membukanya."
"Aku percaya kamu tidak membukanya karena isinya masih utuh semua. Untung kamu tidak membukanya, kalau kamu membukanya setan mungkun akan memperdaya kamu agar kamu tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya. Lihatlah Nak Mahmud, ini isinya."
Tuan Ragab lalu mengeluarkan isi tas hitam. Pertama-tama koran bekas yang telah lecek.
Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.
"Kelihatannya tak ada yang istimewa kan? Tapi ini adalah setengah per alanan hidupku."
Kata Tuan Ragab. Dia lalu mengambil bungkusan plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua bundel dollar Amerika.
"Jumlahnya tiga puluh ribu dollar." Kata Tuan Ragab. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan mengeluarkan isinya: seuntai kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah.
"Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya beli dari Madrid untuk hadiah keberhasilan putriku semata wayang menghafalkan Al-Quran."
Tuan Ragab lalu beralih ke buku agendanya. Agendanya itu berkancing. Ia buka dan is pegang selembar kertas seraya berkata dengan mata berkaca-kaca, "Ini cek dari seorang kolega di Port Said. Nilainya tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound. Inilah isi tas hitam lusuh ini Nak Mahmud, apakah aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu sebagai ungkapan terima kasih."
Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub. Semua barn tabu isi sebenarnya tas hitam kumal itu. Imam masjid dan pengurus masjid saat memeriksa tas itu hanya membuka agendanya.
Mencatat keterangan yang ada di biodata di halaman depan. Yang tertulis hanya nama pemilik, tanggal lahir. Tidak ada alamat dan keterangan yang lainnya. Mereka tidak sampai memeriksa beberapa berkas yang ada di agenda itu. Juga tidak memeriksa isi kantung hijau tua dan bungkusan plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas, itu. Mereka mengujinya dengan menanyakan kartu identitas. Ketika nama dan data dalam kartu identitas sama dengan yang tertulis di dalam buku agenda dan bisa menyebutkan isi tas secara umum. Maka mereka percaya dialah pemiliknya. Dan memang sejak diumumkan tidak ada satu orang pun yang mengaku. Sampai datang Tuan Ragab menanyakan kepada pengurus masjid perihal tas hitam kumalnya yang tertinggal saat buang air kecil.
"Allah yang mengatur Semua. Alhamdulillah saya bisa mengamalkan ilmu dan menunaikan amanah. Saya ingin murni karena Allah. Jangan paksa saya," Kata Mahmud lirih.
"Jadi kau benar-benar tidak ingin menerima amplop ini?"
"Jangan paksa saya, saya mohon."
"Aku sungguh bangga padamu Nak Mahmud. Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Namur aku tetap ingin mengungkap-kan rasa syukurku. Kepada yang hadir di ruangan ini saksikanlah aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound untuk anak yatim dan fakir miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan pada Semua orang beriman yang menunaikan amanah dengan benar."
Kata-kata Tuan Ragab membuat hati yang hadir di ruangan itu bergetar. Mahmud bersyukur dalam hati bahwa is bisa mempertahankan prinsipnya. Di akhir pertemuan Tuan Ragab membagikan kartu namanya. Saat bersalaman dengan Mahmud beliau mencium kening anak muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.
Hari berikutnya Mahmud menceritakan apa yang dialaminya dengan Tuan Ragab perihal tas hitam kumal itu pada sahabat karibnya Ramhi. Dan Ramhi menanggapinya dengan emosi,
"Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi!?"
"Belum." Jawab Mahmud.
"Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul, primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan
bagianmu."
Mahmud menggelengkan kepada.
"Kenapa tidak?!" Sengit Ramhi.
"Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!"
"Bah! Dasar prtimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip­prinsipmu di era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!"
"Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."
Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil bergumam,
"Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!"
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timer dan tenggelam di barat. Tak pernah berhenti. Hari berganti hari. Setelah empat tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz. Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya. Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Cairo. la sangat ingin lanjut pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi. Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke kampus.ia kangen dengan kampus. Ia ingin menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan pikiran. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud menyalaminya dengan penuh takzim. "Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.
Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat menyejukkan hatinya. Jika ia dicari-cari seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu keberkahan. Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan. "Insya Allah, Doktor." Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang ker a Prof Dr. Abdul Aziz Abduh dengan terlebih dahulu mengucapkan salam.
"Wa'alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat waktu Mahmud. Aku senang." "Ada yang bisa saya bantu Doktor?"
"Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?"
"Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?"
"Mau tidak kamu ber uang dan berdakwah?"
"Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang muslim."
"Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok selatan Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk lanjut S2. bagaimana?"
Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh, hati Mahmud gerimis.
"Saya wakafkan diri saya untuk dakwah, Doktor. Untuk dakwah saya siap ditempatkan dan diutus di mana saja."
"Aku bangga mendengarnya, Anakku. Bersiap-siaplah.
Surat-suratnya akan aku urns. Minggu depan kamu berangkat, insya Allah. Dan ingat kamu berangkat ke medan dakwah yang tidak ringan."
"Mohon doanya, Doktor."
Hayyakallah ya Bunayya."9
"Amin."

Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Cairo ke Asyyut dengan kereta dan disambung dengan angkot sampailah Mahmud ke sebuah desa. Turun dari angkot ia masih harus ber alan kaki setengah kilo untuk mencapai perkampungan di mana dia ditugaskan. Begitu sampai ia langsung rumah imam masjid. Seorang petani memberi petunjuk, "Datangilah rumah yang bercat hijau. Di halamannya ada seekor keledai sedang ditambat. Dari sini kira-kira seratus meter. Setelah kebun korma." Ia bergegas ke sana. Dengan mudah ia temukan rumah itu. Ia ketuk pintu. Seorang lelaki tua, berumur tujuh puluhan keluar. Ia berbincang dengannya penuh takzim, menjelaskan kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki tua itu mempersilakan masuk rumahnya, menyambutnya dengan penuh suka cita, "Alhamdulillah surat permohonan saya ke bagian dakwah Al Azhar dikabulkan. Saya sangat bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa jadi penerang di desa kami."
"Kalau boleh tabu siapa nama Imam?"
"Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi imam. Bacaan Al-Quran saya masih belum benar. Karena tidak ada yang lain jadi terpaksa saya menjadi imam. Nama saya Raghib.
Nanti bakda shalat Maghrib kau akan kukenalkan pads jamaah masjid. Setelah itu kau akan kuajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat desa ini. Mereka semua pasti akan senang dengan keberadaanmu di sini."
"Semoga Allah memudahkan semuanya."
Sejak hari itu mulailah perjuangan dakwah Mahmud benar-benar merasakan beban yang tidak ringan. Masyarakat di desa itu masih ada yang beta huruf Masih ada yang belum, bisa baca Al-Quran. Masih banyak yang belum mengerti ajaran Islam dengan benar.selama ada di desa itu, ia diangkat menjadi imam menggantikan Pak Raghib yang menjadi imam sementara. la menjadirujukan, tempat bertanya masalah agama. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya
padanya sebagai lulusan Al Azhar di Cairo. Anak-anak juga sangat lekat padanya. Mereka antusias belajar Al-Quran padanya. Seringkali Mahmud membuat acara yang sangat mengasyikan bagi mereka. Kematangannya ketika aktif di kepanduan sebelum masuk kuliah sangat berharga. Genap sate tahun, Mahmud seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat desa itu. Pengajian umum yang ia buka di masjid setiap hari Jumat pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat dessa itu namun juga desa-desa sekitamya. Namur lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mules begitu saja. Sudah beberapa kali nyawanya terancam oleh mereka yang merasa keberadaan Mahmud sangat membahayakan mereka. Mereka sebuah mafia kecil yang secara diam-diam menanam ganja di tengah-tengah kebun mereka. Mereka adalah bagian dari jaringan pengaedar narkotika di kawasan Mesir Selatan. Ulah mereka belum terendus pihak kepolisian. Kehadiran Mahmud yang berpendidikan dianggap, sangat membahayakan. Beberapa kali Mahmud hendak dilenyahkan namun gagal. Mafia kecil itu terus mencari cara membinasakan imam muda ini. Akhimya mereka sepakat untuk menghabisi Mahmud dengan rekayasa clan fitnah. "Begini, agaknya imam muda ini banyak disukai anak-anak gadis. Kita manfaatkan hal ini untuk membinasakannya. Kita pernah dengan dulu di Bani Israel ada seorang ahli ibadah yang namanya Barshisha. Dan ia hancur karena perempuan. Bagaimana kalau kita gunakan cara setan itu untuk membinasa- kan imam muda ini." Seorang anggota mafia berambut keriting mengajukan usul.
"Boleh. Riilnya bagaimana?" Ketua, mafia menyahut.
"Begini Bos," Kata lelaki berambut keriting, "Saya telah amati kegiatan imam muda itu dua, minggu penuh. Juga saya bertanya banyak hal tentangnya ke para penduduk. Imam muda itu punya pengajian rutin Tafsir Jalalin di masjid tiap hari malam Ahad. Tempatnya di masjid selatan desa. Dia pulang clan pergi tidak pernah sendirian. Jadi kalau kita gunakan kekerasan justru berbahaya."
"Terns gimana membinasakan dia?" Sahut sang ketua tidak sabar.
"Begini Bos, kita fitnah dia. Penduduk desa ini paling anti dan paling murka terhadap orang yang mengotori anak gadisnya. Saya dapat informasi ada seorang anak gadis yang sangat suka apa saja asal dapat imam muda ini. Setahu saya, imam muda ini sampai di rumahnya dari pengajian Tafsir Jalalain jam setengah dua belas malam. Kita akan manfaatkan Sadia. Kita seolah membantu Sadia, namun Sadia harus ikut skenario kita. Dan harus menjaga rahasia. Begitu Bos."
"Lha terus riil memanfaatkan Sadia itu gimana, Keriting?"
"Begini Bos, saat si imam muda itu pergi mengaji Tafsir Jalalain, diam-diam dengan cara yang tidak diketahui orang kita, datangi rumah imam itu lewat belakang. Kita ajak Sadia ikut Berta. Kita congkel pintu belakang, kita minta Sadia masuk dalam rumah imam itu. Sadia harus bersembunyi. Ketika imam itu nanti pulang dan tidur pulas. Sadia harus tidur di samping imam itu. Sate ranjang kalau perlu dengan pakaian yang tampak acak-acakan. Saat itulah kita grebek, kita kerahkan orang kampung. Pada saat kita grebeg sedia harus memeluk imam muda itu kuat-kuat, menangis dan menjerit-jerit. Dengan demikian hancurlah imam muda itu. Ia akan dilemparibatu seperti anjing kurap oleh seluruh penduduk kampung. Akan diusir." Sang ketua manggut-manggut mengerti.
"Apa Sadia mau. Pasti mau bos. Dia sudah masuk perngkap, kita. Sekarang dia sudah ikut
pakai ganja sebab kakaknya juga bagian dari kelompok kita."
"Bagus. Segera jalankan rencanamu dengan matang. Ajak dan provokasi para pemuda yang tidak suka dengan imam sok suci itu!"
Sore itu Mahmud asyik membuat acara permainan dengan anak-anak di sebuah kebun korma. Tiba-tiba seorang anak berteriak, "Imam... imam itu ada ular!" Mahmud langsung melihat ke arah yang ditunjuk si anak. Ya ada seekor ular cobra yang sangat berbahaya. Ia minta anak-anak menyingkir. Di kepanduan ia pernah belajar mengatasi ular. Sepuluh menit kemudian Mahmud telah berhasil meringkus ular itu dengan kain yang ia gunakan untuk tikar.
"Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap." Anak-anak gembira.
"Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada seorang pun yang berani menangkap ular cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya karena dipatuk ular cobra." Kata anak yang tadi berteriak. Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung tersiar ke seluruh penjuru desa. Seorang petani separo bays mendatangi Mahmud dan menasihati, "Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik langsung di bunuh saja!" "Saga tidak main-main kok, Paman. War ini sengaja tidak saya bunuh sebab besok pagi saya ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya. Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan kuetir, Paman."
Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri. Mahmud memasukkan ular itu ke dalam kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di ruang belakang rumahnya. Setelah Maghrib, Mahmud membaca tafsir yang akan dia sampaikan untuk pengajian rutin. Bakda Isya ia berangkat ke masjid selatan desa untuk menyampaikan pengajian.sementara kelompok mafia mulai menjalankan rencananya. Sebagian mereka sudah mampu menyebar fitnah dan meyakinkan sebagian penduduk desa bahwa si imam muda itu tak lain adalah seekor srigala busuk. Imam muda itu telah mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang dalam cengkeramannya adalah Sadia.
Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibu ibumelihat spa yang akan ter adi malam nanti. Malam nanti akan ketahuan siapa sebenamya imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.
Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala fitnahnya.
"Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam sok suci itu akan tabu siapa Sadia. Dia akan tunduk di telapak kakiku." Gumamnya.
Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut keriting berhasil masuk rumah Mahmud lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa malunya. Di luar rumah ketua mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa anak bush yang lain bertugas membawa para pemuda pads saat yang tepat. Tepat pukul sebelas Mahmud pulang diantar oleh seorang pemuda. Setelah pemuda itu pamit, Mahmud masuk rumah. Ia tidak masuk ke kamarnya tapi duduk di ruang tamu. la belum mengantuk. Ia ingin membaca Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq. Sastu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu mencaci-maki dirinya. Pinto rumahnya digedor dengan sangat keras.
"Ayo seret imam pezina itu!"
"Telanjangi Mahmud serigala itu! Arak dia biar jadi pelajaran!"
Belum sempat ia beranjak dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak.
Mahmud berdiri kaget. Kitab fiqhus sunnah masih ditangannya. Orang-orang dengan marah. Yang paling depan adalah ketua mafia. Mata Mahmud beradu dengan matanya. Ketua mafia agak gentar, tidak seperti yang direncanakn. Tidak ada suara merengek atau tangis Sadia. Ke mana
Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia langsung menggertak.
"Di mana Sadia kausembunyikan, Bangsat!"
Mahmud tidak gentar, "siapa Sadia?"
"Jangan sok tidak tahu. Sadia yang kauzinai setiap malam!"
Mahmud kaget, "Apa zina? Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na'udzubillah. Jangan sembarangan kau bicara! Menuduh zina adalah kriminal!"
Jangan banyak bacot. Langsung seret saja pemuda ini. Sadia adalah korbannya ia telah menodai gadis lugu itu. Ayo seret dia!"
Para pemuda yang emosi langsung bergerak memegang Langan Mahmud. Mahmud melawan dengan menampar mereka. Ter adi pergulatan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, "Berhenti!
Ada apa ini?"
Ternyata suara kepala desa. Di belakangnya ada beberapa orang polisi. Rupanya kepala desa mencium gerakan para pemuda. Ia ingin menegakan hukum, siapa pun yang salah harus diadili sesuai hukum, makanya ia mengundang polisi. Sebelum Mahmud angkat bicara, ketua mafia angkat bicara dan meluncurkan tuduhan dan fitnahnya. Panjang lebar, dan dengan suara sangat meyakinkan, "Beberapa kali aku melihat dia dan Sadia berbuat mesum!"
Mahmud emosi, "Dia bohong! Dia memfitnah! Ini fitnah!"
"Aku bahkan pernah melihat tengah malam Sadia menutup jendela kamar rumah ini, dalam keadaan telanjang dada dan di belakangnya si jahannam ini mendekapnya mesra!" cerocos ketua mafia.
"Sudah diam kamu Bandot! Tuduhan kamu harus kamu buktikan!" Bentak kepala desa.
"Akan aku buktikan! Aku yakin Sadia sedang terlelap di salah sate ruangan di rumah ini setelah dibius srigala ini! Ayo kita geledah!" Sahut ketua mafia mantap. la bergerak. Beberapa orang bergerak. Pak kepala desa, dua polisi dan Mahmud mengikuti.
Mahmud hanya pasrah kepada Allah. Kamar pertama digeledah, tak ada apa-apa. Kamar kedua jugs. Kamar ketiga, yang tak lain kamar tidur Mahmud digeledah. Dengan sangat teliti. Almari dibuka. Kolong ranjang diteliti tak ada apa-apa. Wajah ketua mafia merah. Ia marah. Dalam hati ia mendesis,
"Di mana kau Sadia? Kurang ajar kamu! Kamu telah mempermainkanku. Awas aku cincang kamu!"
Ketua mafia itu lalu mengajak menggeledah ke ruang belakang yang tak lain adalah dapur dan kamar mandi. Ruang belakng itu gelap. Beberapa orang menyorotkan senternya. Sinar center itu menerangi ruangan. Di atas lantai orang-orang terkesima dengan pemandangan yang merekaa lihat. Dua orang anak manusia lain jenis diam tak bergerak dalam polisi yang sangat memalukan.
Tubuh keduanya telanjang.
"Itu Sadia!" teriak seorang pemuda.
"Lha itu yang menidihnya siapa?" Tanya seseorang.
Kepala mafia pucat.
"Itu si kerempeng. Anak bejat dari kampung utara!"
Polisi melihat keduanya.
"Inna lillahi wa inna ilahi raaji'un. Keduanya sudah tidak
bernyawa. Ada gigitan ular di kaki kedua manusia jalang ini. Kata polisi itu.
Kepala desa langsung berkata pada ketua mafia, dan ia tidak tahu kalau yang ia ajak bicara adalah seorang ketua pengedar narkotika,
"Hai Bandot, berarti kau salah lihat. Yang berbuat mecum bersama Sadia itu bukan Mahmud.
Tapi si pemuda keriting ini. Saya tahu persis siapa Mahmud. Sejak dia datang sampai sekarang saya tahu persis akhlaknya. Memang rumah ini wring ditinggalkannya kalau malam untukmengisi pengajian. Jadi wring kosong. Kelihatannya itu dimanfaatkan dua manusia itu. Karena mereka merasa aman melakukannya di sini. Tapi Allah tidak ingin membiarkan hal ini berlanjut terus."
"Ya aku bersaksi Mahmud bersih dari tuduhan keji itu. Kenyataan di depan mata kita telah membuktikannya. Memang sejak satu minggu ini ada yang menyebar desas­desus tidak sedap, tentang imam muda kita. Dan malam ini semuanya jelas." Sahut seorang ibu-ibu yang ikut menyaksikan kejadian itu.
Dalam hati Mahmud bersyukur telah selamat dari fitnah. Ia merasa ada makar yang inginmencelakainya di balik kejadian menggegerkan desa malam ini, clan Allahlah yang menggagalkan. Penduduk desa, juga Mahmud tak ada yang tahu, apa yang dilakukan Sadia dan Pemuda Keriting setelah masuk rumah Mahmud. Setan telah membakar nafsu mereka berdua di tempat gelap, itu karena pengaruh ganja yang mereka hisap. Tangan pemuda itu tidak sadar membuka ikatan karung goni yang berisi ular saat sedang berasyik masyuk. Saat jantung berdegup kencang. Tanpa mereka sadari ular itu memaruk kaki mereka. Jantung terus berdegup. Racun mematikan pun menyebar dengan cepat. Dan tamatlah riwayat mereka berdua. Makar yang mereka buat membinasakan mereka sendiri.
Peristiwa malam itu berbuntut panjang. Kakak Sadia yang juga anggota mafia kecil itu tidak bisa, teerima atas, kematian adiknya. Ia tahu persis adiknya adalah korban dari makar busuk ketua mafia.
Diam-diam ia mendatangi kantor polisi dan membocorkan rahasia yang selama, ini ia pendam. Ia juga mendatangi kepala desa, dan membocorkan semua yang ia tahu, termasuk makar fitnah untuk membinasakan sang imam muda, Mahmud, pada malam itu. Polisi bergerak cepat. Seluruh anggota mafia di desa itu dan desa-desa sekitarnya di tangkap. Bahkan jaringan yang lebih besar di Mesir selatan segera digulung. Kepala desa, mengum-pulkan warganya dan menjelaskan lebih detil tentang makar fitnah itu. Pencluduk desa semakin mencintai Mahmud. Tak terasa sudah Sembilan belas bulan Mahmud berdakwah di desa itu. Sudan cukup banyak perubahan. Anak-anak sudah fasih baca Al Quran. Para orang tua sudah memahami isi aqidah Thahawiyyah, Fiqh Sunnah, dan inti risalah Islam. Sebuah balai serba, guns didirikan di samping masjid. Tiga bulan lagi tugasnya usai. la, ingin kembali ke Cairo dan melanjutkan S2. Ia hendak menyampaikan hal itu pada kepala desa, agar tidak mengejutkan kepergiannya. Usai shalat Maghrib ia membicarakn hal itu pada kepala desa dan beberapa pengurus masjid, termasuk Pak Raghib yang sangat dihormati. Apa yang ia sampaikan ditanggapi dengan keharuan dan tetesan airmata. Kepala desa berkata, dengan mata berkaca,
"Kami sangat mencintaimu Nak Mahmud. Kami sebenarnya ingin Nak Mahmud tinggal di sini. Atau lebih lama di sini. Namun semua kembali pada Nak Mahmud. Kami tidak bisa dan tidak berhak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap, Nak Mahmud tidak menolaknya."
"Apa itu?" Tanya Mahmud.
"Bicaralah Paman Raghib."
"Begin Nak Mahmud. Saya punya cucu. Satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu kakak saya yang telah meninggal karena kecelakaan, setengah tahun sebelum kau datang kemari. Akulah satu-satunya keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil ia hidup di desa ini. Sejak kecil. Meski ayah-ibunya tinggal di kota Thanta, ia tinggal di sini. Bersama kami. Karena, is memang dilahirkan di sini. Setiap, dibawa ke Thanta ia sakit. Tapi jika dibawa ke sini ia sembuh.
"Boleh dikata cucu saya itu, menurut pengakuan orang-orang di desa ini adalah gadis tercantik dan terpandai. Dialah satu-satunya gadis yang menghafal Al-Quran. Menghafal Al-Quran dengan kemauannya sendiri. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling kaya di desa ini. Selain mewarisi kekayaan ayahnya di Thanta, ia juga mewarisi kekayaan kakeknya, yaitu kakak saya. Tanggung jawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang saleh, bertakwa, berilmu dan bertanggung jawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya berani menjamin ia gadis yang salehah. Sekarang sedang kuliah di Al azhar Banat, Cairo, tahun kedua. Ini permohonan
saya. Dan saya berharap ticlak kamu tolak. Saya akan sangat merasa aman jika dia dalam naungan lelaki saleh sepertimu."
Perkataan Pak Raghib membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat. Akhimya ia berhasil menggerakan lidah dan bibirnya,
"Sa... saya akan istikharah dulu."
Tiga kali ia istikharah. Setup kali istikharah ia tidur. Dan dalam tidur selalu bermimpi membaca Al Quran surat Ar Ruum ayat 21. Ia sangat yakin, itu ilham agar ia segera menikah. Akhimya ia menyampaikan jawaban `menerima tawaran itu' pada Pak Raghib. Jawaban Mahmud menerbitkan air mats haru lelaki itu.Minggu berikutnya diadakan acara ta'aruf antara Mahmud dan cucu Pak Raghib itu. Acara dihadiri kepala desa. Mahmud hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung berdebar-debar.
Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling pilihan di desa ini.Istri Pak Raghib mengeluarkan minuman clan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Setelahberbincang-bincang cukup lama. Pak Raghib berkata, "Ya Hafshah keluarlah!"
Tak lama kemudian seorang gadis ber ilbab panjang putih bersih keluar. laducluk di camping istri Pak Raghib.
"Nak Mahmud, ini Hafshah cucuku." Kata Pak Raghib.
Mahmud mengangkat muka ke arah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama.
Dan....
Subhanallah! Ia teringat peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa di musim semi, saat ia berjualan buku. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening. muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis agaknya juga kaget. Cukup lama mereka berpandangan.
"Agak aneh. Apa kalian pernah Baling kenal?" Pak Raghib menangkap gelagat. Gadis itu diam. Mahmud mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,
"Masjid El Fath, Ramsis. Kaset Syaikh Sya'rawi berjudul: Al Mar'ah Ash-shalihah." Gadis itu tiba-tiba menyambung lirih,
"Ya kapten, lau samah, bikam syarith dza?
E .... sabahjunaihat!
Lu ya anisah, hadza jaded.
Arba'ah mumkin?
Musyi mumkin, afwan.
Khamsah la azid.
Masyi- "
Mahmud terhenyak, gadis itu'masih ingat dialog tawar menawar kaset itu dua tahun yang lalu. Sebelum Mahmud bicara gadis itu menjelaskan dengan detail pertemuan dua tahun yang lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta'aruf itu. Paman Raghib dan semua yang hadir mafhum. Ia lalu membahas lebih dalam. Hafshah dan Mahmud sama-sama rida. Hari pernikahan pun ditentukan.
Musim semi yang penuh barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Hafshah dan Mahmud. Pagi hari Jumat itu berlangsung akad nikah di desa bersuka cita. Anak-anak mendendangkan lagu kebahagiaan dan cinta. Rumah tua yang ditempati Mahmud ternyata adalah rumah tempat Hafshah dulu dilahirkan. Rumah itu telah direnovasi. Dicat kembali. Kamar pengantin dihias indah dan wangi. Malam usai shalat Isya Mahmud masuk kamar. Sang isteri telah menanti. Kali ini ticlak bedilbab. Mahmud terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Hafshah. Kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah. Ia memandangi kalung itu lama sekali.
Hafshah heran dan bertnya,
"Ada apa denganmu, Suamiku? Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kacaa saat kau melihat kalung permata ini?"
Mahmud berkaca-kaca, dan berkata, "Jika mataku tidak silap. Aku pernah melihat kalung mutiara ini dua tahun yang lalu.
Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli dari Madrid untuk hadiah putri semata wayangnya yang baru hafal. Al-Quran."
Mendengar hal itu Hafshah terisak. Ia teringat cerita ayahnya almarhum. Terbata­bata ia berkata," Jadi kaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil masjid Al Fath itu? Kaukah yang menolak pemberian tanda terima kasih dari pemiliknya itu?"
Mahmud kaget, "Kau tahu peristiwa itu? Dari mana kau tahu peristiwa itu?" "Kau ingat nama Ragab Ali Ridhwan Hamid Ghazali."
"Ya. Itu pemilik tas itu?"
"Beliau adalah ayahku."
"Ayahmu?"
"Ya."
"Subhanallah. Ketika namamu disebut dalam akad nikah Hafshah binti Ragab Ali Ridhwan Hamid Ghazali. Aku tidak pemah berpikiran nama pemilik tas hitam lusuh itu. Sebab betapa banyak nama Ragab di Mesir ini."
"Hari itu aku datang ke masjid El Fath bersama ayah. Aku asyik melihat buku-buku. Ayah yang bertanya ke pengurus masjid. Ketika ayah bilang tasnya telah ditemukan masih utuh aku sangat bahagia. Sementara, ayah menunggu di masjid bakda shalat Isya, aku memilih langsung istirahat ke hotel. Setengah sepuluh ayah masuk hotel sambil menangis. Aku bertanya pada ayah ada apa. Ayah menjawab, 'Yang menemukan tas ayah yang sangat berharga ini adalah seorangpemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan merasa bahagia jika Allah berkenan menjodohkan dirimu dengannya.' Suamiku, apakah kautahu apa yang kulakukan saat mendengar perkataan ayah itu?"
"Aku tak tahu? Apa yang kaulakukan?"
"Dalam hati aku berdoa kepada Allah, jika pemuda itu memang benar-benar saleh dan menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku. Dan Allahu akbar! Allah mengabulkan doaku."
"Allahu akbar. Saat itu aku menolak amplop pemberian ayahmu. Dan ternyata Allah menyiapkan yang lebih berharga dari itu."
"Ya. Aku dan segala yang kumiliki sekarang ada dalam kimsamu."
"Aku merasa musim semi ini benar-benar penuh barakah."
Hafshah mendekat dan meletakkan kepalanya dalam dada Mahmud. Sesaat, suasana haru dan indah memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk Allah itu larut dalam rasa syukur yang dalam dan panjang.
Catatan Kaki:
1 Kapten, maaf, berapa harga kaset ini?
2 Tujuh pound.
3 Mahal sekali.
4 Tidak nova, ini baru.
5 Empat, mungkin.
6 Tidak mungkin, afwan.
7 Lima (pound), tak akan aku. tambah.
8 Okay.
9 Semoga Allah selalu menjagamu, memberimu keberhasilan hidup wahai anakku.

By. My Some One


Boenglon_71

Warto Jabat